Foto Ilustrasi : Editing |
Topan Bohemian
Pemimpin
Redaksi Fokusinfo.com
Fokusinfo.com
| Opini : Belakangan wacana akan adanya perombakan pejabat di Merangin oleh Pjs
Bupati Merangin, Husairi terpampang disejumlah media. Alasan perombakan itu
ditujukan untuk mengisi sejumlah jabatan yang saat ini kosong. Namun yang
menjadi polemik adalah adalah wacana mutasi / rolling jabatan yang dikaitkan
dengan latar belakang pendidikan pejabat yang saat ini tengah menjabat pada
instansi tertentu. Ditambah isu perombakan pejabat merupakan pesanan salah satu
calon Bupati Merangin.
Sebagai
seorang Pjs atau pejabat sementara, tentunya Husairi mengerti betul sebesar apa
wewenang yang dimilikinya dalam menjalankan roda pemerintahan Merangin, mengingat
statusnya adalah menerima dan menjalankan mandat.
Mengutip
Pasal 34 ayat (3) UUAP (Undang-undang Administrasi Pemerintahan) 2014: ‘Plt atau
Pjs melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan’. Diperjelas dengan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara, BKN
No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas
dalam Aspek Kepegawaian. Tertera di surat tersebut,’Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil
keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada
perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi
anggaran”.
Lalu
apa yang dimaksud dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis
itu? Menurut Penjelasan Pasal 14 ayat
(7) UUAP 2014, yaitu Keputusan dan/atau Tindakan yang memiliki dampak besar
seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah.
Sedangkan maksud ‘perubahan status hukum kepegawaian’ adalah melakukan
pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai’.
Lalu
sebesar apa konsekuensinya jika benar benar terjadi mutasi sejumlah pejabat
yang saat ini tenang duduk di ‘kursi empuk’ itu?
Meskipun
‘tidak ada’ korelasinya, perombakan dimasa Pilkada akan menciptakan emosional
yang sensitif di masyarakat. Walaupun niatnya mulia namun seluruh ‘gerak-gerik’
seorang Husairi dapat dipastikan selalu disorot dan berpotensi dihubung-hubungkan
pada politik sehingga netralitas terancam. Oleh karena itu seyogianya Husairi meneruskan program tanpa
‘mengaduk-aduk’ personal didalamnya.
Meskipun
wewenang merombak pejabat ‘dihalalkan’ dengan catatan berdasarkan Perda
Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
(Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 huruf e) namun seorang Pjs juga dituntut memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat (Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 huruf b). Apa jaminannya
pasca perombakan stabilitas pemerintahan akan aman-aman saja ?
Bicara
soal Rencana strategis dan rencana kerja pemerintah menurut hemat saya merekat
pada program seorang Bupati Definitif, Al Haris meskipun saat ini tengah cuti.
Toh pada waktunya kelak dia akan kembali memimpin Merangin menghabiskan sisa
jabatan dan melanjutkan program.
Al
Haris selama pemerintahan yang dijalaninya tentu mengetahui sejauh mana
elektabilitas seseorang yang diangkatnya menjabat jabatan tertentu. Itu karena
sebagai Bupati Al Haris memiliki visi misi membangun dan harus dicapainya.
Sementara
seorang pjs tidaklah memiliki visi misi kecuali menjalankan roda pemerintahan
selama Bupati Definitif
melaksanakan
cuti. (Visi misi yang saya maksudkan adalah visi misi yang diungkapkan ketika
seseorang pilihan rakyat diamanatkan untuk memimpin).
Memutar
sejarah, jika ‘mungkin’ dulu Al Haris ‘dibisikkan’ dalam penempatan figur mengisi
jabatan-jabatan di pemerintahannya. ‘Pembisikan’ itu dikonotasikan sebagai opsi
menuju penetapan hak prerogatif Al Haris memutuskan siapa-siapa saja yang
diyakini mampu mewujudkan visi misinya membangun Merangin bisa tercapai. Lalu
pertanyaanya siapakah yang ‘membisik’ dan ‘mendorong’ Husairi sehingga lahir
wacana perombakan birokrasi di Merangin ?
Saat
‘berbisik’ itu tentu saja ada data yang dibawa, data manusia (pejabat) dan
kinerja. Soal kinerja ini tentu sebelumnya ada penilaian. Siapa yang menilai
kinerja dan akuratkah penilaiannya? Saat telah menemukan angka penilaian
kinerja seseorang apakah dasar itu menjadikan landasan peletakan dan atau
pembuangan (mutasi) jabatan seseorang? Saya harap tidak ada sentimentil dalam
proses ini.
Sangat
tidak masuk akal rasanya dalam hitungan bulan seorang Pjs mampu menilai kinerja
seseorang. Meskipun Husairi mati-matian mengatakan telah mengetahui seluk
beluk, karakter, kinerja manusia hingga 'peta jalan-jalan tikus' di Merangin. Jika
itu terjadi tidak menutup kemungkinan Husairi kelak akan dipandang sebagai ‘perusak’
struktural birokrasi di Merangin yang sebelumnya telah tertata rapi.
Tidak
hanya itu, persoalan mutasi jelang pilkada bisa memicu protes bagi ASN yang
terkena. Anggapan ada muatan politik sulit dibendung dan berpotensi berujung
pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jika badan dan atau pejabat
pemerintahan menang di PTUN, itu tentu baik. Jika ASN yang terkena mutasi tidak
memperpanjang persoalan tentu tidak apa apa. Tapi jika pihak pemerintahan kalah
maka sesuai pasal 71 ayat 5 UUAP 2014 ‘Kerugian yang timbul akibat Keputusan
dan/atau Tindakan yang dibatalkan menjadi tanggung jawab Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan’.
Tafsiran
saya, artinya bisa saja badan atau pemerintahan yang menanggung dan bisa juga
pejabat individu menanggung kerugian. ASN bisa menuntut ganti rugi baik moril
maupun materil. Tentu kita sama-sama tidak menginginkan Pjs Bupati Merangin
dikejar kejar pejabat yang telah dimutasi guna meminta ganti rugi. (*)
Referensi
:
1. Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan
2. Permendagri
Nomor 74 Tahun 2016