'Sapu Rata' Ungkap Nama Oknum Pembabat Hutan
Fokusinfo.com | Merangin : Foto-foto pembabatan hutan TNKS di sekitar Rumah Hitam, Jangkat baru-baru ini diposting dan menjadi polemik di media sosial. Sejumlah aktivis Merangin dan netizen mengomentari kondisi hutan Jangkat yang tergambar dalam foto-foto tersebut dengan argumen mereka masing-masing.
Menyikapi itu, LSM Sapu Rata Indonesia melakukan investigasi ke lapangan. Dan didapatkanlah nama tiga orang oknum yang diduga menjadi pelaku dominan pembabatan sekaligus menjual lahan tersebut.
Tim investigasi Sapu Rata (TISR), kepada fokusinfo.com memaparkan tiga inisial nama oknum yang diduga pelaku adalah E P, D dan P. Ketiganya memiliki peran sama yaitu memerintahkan para pekerja untuk membabat diwilayah tertentu dengan ukuran tertentu pula.
‘’Mereka itu tinggal tunjuk saja kepada pekerja yang mayoritas warga pendatang. Contohnya, pekerja A diwilayah sana ukuran sekian, pekerja B diwilayah sananya lagi dengan ukuran sekian, pekerja C diwilayah sebelah sananya lagi dengan ukuran sekian dan seterusnya,” kata TISR.
Dijelaskan, tiga orang oknum tersebut bukanlah bekerja secara tim. Mereka terpisah namun melakukan pekerjaan yang sama yaitu memerintah membabat hutan dan menjualnya.
Untuk satu hektar lahan yang dibabat, para pekerja menerima upah sebesar Rp.1,2 juta sementara setelah selesai ditebas, para oknum bisa menjual lahan tersebut sebesar Rp.15 juta perhektar.
‘’Bisa dibayangkan berapa untung mereka, itu baru satu hektar dari ratusan hektar lahan yang telah mereka babat habis selama ini,” ujar TISR.
Lahan yang dibabat, menurut TISR dijual kepada warga pendatang. Hal itu karena warga pendatanglah yang berani membeli lahan tersebut. Sementara itu, bukti jual beli antara oknum pelaku dengan pembeli hanya selembar surat jual beli bertempel materai enam ribu.
‘’Kalau warga asli tidak berani membeli lahan itu. Takut bermasalah, tapi warga pendatang mereka berani, mereka memang mencari lahan untuk pertanian apalagi dipinggir jalan,” tutur TISR.
‘’Sementara surat jual beli hanya bertempel materai Rp.6000, didalamnya juga berbunyi jika tanah tersebut dipermasalahkan masyarakat lokal, maka penjual yang bertanggungjawab namun jika pemerintah atau petugas berwajib yang mempermasalahkannya maka pembeli lah yang bertanggungjawab,” tambah TISR.
TISR juga mengungkapkan pihak berwajib dan Pemerintah Desa tahu akan persoalan tersebut, namun tidak berkutik mengingat wilayah yang luas ditambah sulitnya membina orang-orang yang bekerja diwilayah itu serta keberadaan pekerja sering berpindah-pindah.
‘’Kami tidak mau menyerempet apakah pihak berwajib dan pihak lainnya mendapatkan upeti dari aktivitas tersebut. Tapi kami yakinkan bahwa bohong bila pihak berwajib mengaku tidak tahu dengan aktivitas tersebut,” kata TISR.
TISR juga mengaku saat ini tidak sedikit warga Renah Alai yang juga turut membabat hutan. Namun aktivitas tersebut bukan dimaksudkan untuk dijual, tetapi untuk mempertahankan atau membentengi tanah wilayah desa mereka terhadap warga pendatang.
‘’Jadi maksudnya ketika lahan tersebut sudah dibabat oleh warga lokal, itu pertanda lahan adalah milik masyarakat. Warga pendatang tidak akan mau membeli lahan tersebut. Begitu maksud warga Renah Alai,” jelas TISR.
Hingga berita ini dipublikasikan, fokusinfo.com terus berupaya klarifikasi kepada tiga orang oknum yang diduga pelaku perambahan hutan TNKS tersebut.(redaksi)